Selasa, 12 Maret 2013

Liburan, Tancap ke Bromo



















Padatnya aktifitas sebagai mahasiswa dan pekerja membuat ku sangat jenuh. Belum lagi aku harus menyiapkan dance untuk lomba  antar rumah sakit. Huh, penat sekali rasanya. Tapi begitu melihat tanggal merah dikalenderku, rasanya seperti dapat rejeki nomplok. Wisata Bromo yang tersohor itu akhirnya menjadi pilihan kami untuk merefresh diri. Selain hemat, juga letaknya tak terlalu jauh dari Surabaya.
Aku, Cindy, Anggar, Elok, Ziana, Elsa, dan Delfi adalah mahasiswa kebidanan, tapi mendaki gunung yang baru saja meletus ditahun 2011 itu bukan masalah lagi bagi kami. Pukul 9 malam, kami berangkat ke Gunung Bromo, yang tepatnya di Probolinggo. Jalanan curam dan gelap yang dilalui mobil kami, sempat membuat kami takut dan ngeri, maklum inilah pengalaman pertama kami. Hembusan udara dingin serasa membuat kami seperti telanjang dan mandi air es  dimalam hari. Selapis kaos, jaket, sarung tangan dan masker tak mampu melawan suhu 10 hingga 0 derajat celcius di daerah ini, hingga akhirnya aku menambahkan selapis lagi baju kaos plus  jaket.
Pukul 4 pagi kami bergegas untuk memulai perjalan menuju puncak gunung dan tak sabar untuk  memotret keindahan kawah gunung Bromo. Karna mobil umum hanya boleh masuk sampai batas pintu masuk gunung, jadi kami harus melanjutkan perjalanan ke puncak Bromo dengan ojek atau hardtop, mobil jeep yang disewakan. Biarpun kami calon bidan yang terkenal kalem, anggun, dan lemah lembut, tapi kami lebih memilih untuk berjalan kaki.


Senter cahaya sudah menyala, bekal air mineral dan kamera tak luput dari genggaman. Para sopir ojek dan hardtop berusaha melunturkan semangat kami. Jalanan curam sekitarr 4 km, lautan pasir seluas  10 kilometer persegi, dan puncak gunung diketinggian 2.392 meter tak membuat kami memutuskan untuk menyewa salah satu diantara mereka.
Bak grup penyanyi 7 Icons, kami berfoto ria di lautan pasir sambil menyaksikan dan mendorong beberapa sepeda motor yang mogok  karena tersendat pasir. Tawa ria canda kami membuat ku lupa akan kegelapan lautan pasir yang gersang itu. Hingga kami sedikit panik saat kami terjebak di tengah lautan pasir, dikelilingi jalan untuk  lahar seperti selokan yang berpasir, berbatu dan sangat dalam. Dari pada kami harus kembali, akhirnya kami memutuskan untuk bahu- membahu menyebrangi jalan lahar itu.
Pukul 05.30 kami sudah sampai di kaki gunung. Sayangnya, harapan untuk melihat cantiknya sunrise tak terwujud. Tapi berfoto berpose dengan background pemandangan Gunung Batok di sisi sebelah Gunung Bromo membuat kami terhibur. Hari sudah mulai terang, matahari sudah mulai menghangatkan kami. Berbagi jalan dengan kuda-kuda sewaan dan 250 tangga sudah kami lampaui, dan kemudian terkagum-kagum menyaksikan suguhan keindahan kawah Gunung Bromo. Merasakan aroma khas belerang. Hmm, sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Kamera SLR tak pernah lepas dari leherku,berkreasi mengambil gambar teman-temanku dengan latar awan biru membuat kepuasan tersendiri bagiku. Kemudian ku sorotkan kamera ku pada pura di tengah lautan pasir itu menambah kehangatan suasana yang mengingatkanku pada Tuhan yang menganugrahkan semuanya ini.  Tak kusangka medan berat sepanjang 10 km telah kami lalui, padahal sebelumnya kami tak pernah merasakan perjalanan jauh.
Tiupan angin menghembuskan pasir semakin membuat kami sulit bernafas, matahari sudah bergeser dari ufuk timur, saatnya kami harus kembali ke kota pahlawan. Eits, tapi bukan berarti kami berhenti eksis berfoto lagi lho. Saat berjalan kembali menapaki lautan pasir, tak jarang kami temui bule disana, mengajak bule beraction di kameraku menambah seru suasana pagi itu. Memandang si mobil bersantai di parkiran, memuramkan wajah kami, dan berseru kembali saat membuka sepatu kami yang penuh pasir. Hingga diperjalanan senyuman kecil masih bergelayut di bibir kami. Nah.. sekarang aku dan si para calon bidan siap memulai kembali aktifitas serunya dikampus.