Senin, 08 Oktober 2012

Bule Jerman dan Uang Lima Belas Ribu ku

B
ioskop adalah tempat yang nggak asing lagi bagi kalangan muda sepertiku. Dengan perasaan senang, bahagia, dan gembira mereka mengunjungi tempat itu. Berkumpul dan nonton bareng teman, sahabat, bahkan pacar menjadi moment yang indah di malam minggu. Dan sensasi saat pertama kali ke bioskop bersama bule tak seindah yang kubayangkan, tapi demi uang lima belas ribuku itu, aku semakin akrab dengan si bule.
Pada suatu ketika, seseorang menawariku untuk menjadi tutor tari remo. Aku pun nggak pikir panjang untuk terima tawaran itu, dan aku juga nggak banyak tanya tentang tawaran itu. Dan ini adalah kali pertamanya aku menjadi tutor tari remo padahal sebenarnya basic ku adalah tari bali, memang sih aku pernah belajar tari remo walaupun secara autodidak.  Beribu khayalan buruk datang dalam pikiran ku, membayangkan segala kejadian saat hari pertama latiahan tari itu di mulai.
Sepulang sekolah hari rabu sore itu, aku bergegas mengeluarkan isi bagasi sepeda ku yang penuh alat praktek dan jas lab ku. Dengan sepeda kuningku aku meluncur ke tempat kita janjian untuk latihan. Dan ternyata  aku telat 1,5 jam, maklum sepeda elektrikku kan kecepatan maksimalnya 40 km/jam. Perasaan malu dan nervous karena aku datang terlambat seakaan lenyap seketika saat melihat empat bule dihadapan ku, satu bule cewek dan tiga lainnya bule cowok. Seakan khayalan indah ku bertemu bule terwujud dalam suatu malam yang cerah di hari itu. Tangan ku terasa membeku saat pertama kali berjabat tangan dengan mereka.
Dalam perjalan pulangku, aku masih teringat wajah indo mereka, antusias mereka belajar tari jawa timur itu, dan gerakan unik mereka saat pertama kali mencoba gerakan dasar tari remo yang membuatku tertawa geli. Dan aku tersenyum saat salah satu dari mereka yang memanggilku dengan sebutan “Bu” karena dia menganggapku sebagai gurunya seperti di sekolah. Sepanjang perjalanan malam itu aku tersenyum sendiri bak orang gila sambil bersepeda santai merasakan sentuhan dinginnya angin malam yang menghembus sepoi-sepoi dan memporak-porandakan rambutku.
Dari ke-empat bule itu, aku paling tertarik dengan salah satu bule jerman yang akrab disapa William. Selain aku tertarik dengan hidung mancung dan kulit putihnya, aku juga tertarik dengan semangatnya mempelajari budaya Indonesia juga dia begitu cinta Indonesia. Dialah yang memanggilku dengan sebutan “Bu”.
Dari SMS-an, chatting di akun Facebook, aku semakin akrab dengan William. Aku semakin mengenal bagaimana sifatnya, bagaimana dia menghargai seseorang. Dia tak lagi memanggilku dengan sebutan bu. Karena dia tahu, aku adalah teman buatnya. Dan pada suatu malam, dia mengirimkan pesan ke handphone pink milikku, dia megajakku nonton ke bioskop. Sejenak aku terpaku membaca pesannya itu. Entah film apa yang nanti akan ku tonton, aku tak peduli. Aku belum menyetujui ajakannya itu karena ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. “berapa ya harga nonton itu?” aku bergumam sesaat. Maklum seumur-umur aku belum pernah merasakan nonton ke bioskop, padahal hidupku di kota yang serba modern ini. Dan mungkin ini akan jadi pengalaman pertamaku. Dalam sesaat aku tersenyum riang, dan dalam sekejap senyumku sirna ketika terpikirkan jumlah kocek yang harus ku keluarkan untuk nonton, karena nggak mungkin rasanya orang tuaku memberiku uang hanya sekedar untuk nonton, sedangkan uang sakuku dikasihnya juga harian. Ditambah lagi dengan sulitnya meminta ijin kepada orang tuaku. Kedua orang tuaku termasuk orang yang kolot yang membatasi segala pergaulan dan selalu melarang ku untuk pergi bersama teman-temanku. “Ah, sudahlah lupakan yang namanya nonton bioskop” kataku dalam batin.  
Saat pagi tiba, aku berangkat ke sekolah dengan semangat baruku. Aku ceritakan tentang ajakan William kepada sahabat karibku, Deniza. Deniza pun mendukungku untuk menyetujui ajakan William itu. Tetapi, setelah aku menyeletuk “Gimana minta ijinnya dan dapat dari mana aku bekal untuk nonton?”. Deniza diam sesaat, ia paham benar dengan sifat orang tuaku. Kemudian kita nggak membicarakan lagi  masalah nonton itu.
Keesokan harinya, Deniza menyodoriku uang kertas biru dengan nominal 50.000. seketika aku menatapnya dengan wajah bingung. “Buat apa uang ini?” tanyaku dengan suara lirih. “Pakailah ini untuk bertemu dengan William” jawabnya dengan tersenyum. Sempat aku menolaknya, tapi dia merayu ku untuk menerima uang itu. Memang 4 bulan lagi William akan pulang ke negaranya, setelah satu tahun dia mengikuti pertukaran pelajar di Indonesia, mungkin juga ini kesempatanku untuk malam-mingguan dengannya.
Saat Sabtu siang, aku berniat membatalkan acara nonton ku bersama William dan mengembalikan uang Deniza. Aku bingung saat itu. Aku membayangkan ekspresi ibuku saat aku meminta ijin, saat ibuku mencercaku dengan banyak pertanyaan. Tapi Deniza berhasil mengkacaukan khayalan burukku itu dengan memberikan sugesti indah saat bertemu William. Deniza bergegas pulang, dan aku masih mengerjakan tugas ku di perpustakaan sekolah. Pukul 5 sore, William mengirim pesan untuk menanyakan kepastian ku. Bertepatan itu juga Deniza menelpon ku, ia memintaku untuk segera berangkat, Karena ternyata ia sudah tiba mall tempat aku dan William janjian. Aku bergegas pulang dan bersiap-siap. Saat akan meninggalkan rumah, aku hanya memberikan sedikit penjelasan pada ibuku sambil terburu-buru dan pergi begitu saja. Tapi kali ini sepeda elektrikku aku tinggalkan.
Inilah pengalaman pertamaku berangkat ke Mall tanpa keluargaku dan dengan perasaan bimbang merasa bersalah kepada ibuku. Entah pikiranku melayang kemana, pintu masuk Mall itu terlewat begitu saja disampingku. Jalan disekitar Mall itu hanya satu arah pula, terpaksa aku mencari jalan untuk putar balik, padahal aku belum paham benar jalan daerah Mall itu, tapi yang ada aku malah nyasar entah kemana. Bermodal feeling aku mencari jalan menuju Mall itu. Sekitar setengah jam aku berputar-putar, aku temukan kembali Mall itu, cepat-cepat aku parkirkan motorku. Deniza menunggu ku disebrang Mall di tempat makan, tempat janjian kita. Deniza sudah memesankanku seporsi makanan, dia tahu aku belum menyempatkan diri untuk menyantap sesendok nasi, sekitar setengah jam berlalu, aku dan Deniza berjalan berdua menuju ke tempat kita nonton, tapi William tak kunjung datang. Tak lama kemudian Deniza meminta ijin untuk pulang terlebih dahulu karena dia akan pergi bersama ibunya.
Berulang kali aku memandangi jam hp ku, mengamati perpindahannya. “Sambil menunggu, aku keliling mall aja” gumam ku. Perasaan galau risau sedikit terlupakan melihat uniknya kedai-kedai makanan di mall itu. Sesaat kemudian William mengirim SMS kalau dia akan tiba beberapa menit lagi, dan ternyata taxi yang ditumpanginya nggak tahu jalan menuju Mall itu, dia sempat tersesat juga. Segera  aku menuju ke tempat janjian kita, di dekat kedai penjual donat. Ternyata dia juga belum tampak batang hidungnya.
Segalanya terlupakan yang aku nikmati hanyalah lantunan lagu dari band yang aku tak tahu namanya, yang sedang tampil disebelahku. Tiba-tiba Hp ku bergetar, segera aku membuka pesan masuk sambil berharap kalau pesan itu dari William. “aku sudah sampai nih, kamu dimana?” itu bunyi SMS dari William. Mataku bergerak kesana kemari berkeliling menjelajahi sudut Mall. Kemudian mataku terpanah dengan sesosok wajah yang tak asing bagiku dengan postur tubuh tinggi tegap melibihi ukuran tinggi laki-laki seumuranku. Dia berjalan santai menuju kedai penjual donat itu. setelah dia mendekat beberapa meter barulah aku yakin kalau dia adalah William, bergegas aku menghampirinya. William melempar senyum kepadaku, sedikit nyengir aku berdiri di sebelahnya, melihat dia dengan menengadahkan kepala bak berdiri di sebelah tiang tinggi.
Aku dan William berjalan menuju ke bioskop, disepanjang perjalanan kita banyak berbincang-bincang sambil menikmati keramahan waitress menawarkan menu kedainya. William banyak bercerita tentang tarian Indonesia. Tak pernah aku bayangkan bisa bertemu bule dan banyak berbincang dengannya, sungguh betapa senangnya aku waktu itu. Tiba-tiba kita bertemu dengan teman sekolah William, yaitu Angela, Christ dan Evelyn. Dan ternyata mereka juga berencana akan nonton film, akhirnya mereka bergabung bersama aku dan William. Kemudian beramai-ramailah kita nonton film.
Gelap, takut, dingin kesan pertama saat aku pertama kali memasuki gedung bioskop. Sebuah gedung dengan layar super besar, suara dentumannya membuatku gemetar, suhu yang begitu rendah membuatku menggigil, dan kursi nyamannya membuatku ingin tidur. Tetapi film yang kita pilih tak begitu menarik, tak ada aksi, tak ada teka-teki, tak menyeramkan sama sekali membuatku teringat ibuku. Aku semakin menyesali perbuatanku tadi. Lagi-lagi aku mengintip jam hp ku, berharap cepat pulang bertemu ibuku lagi. Dan upss.. aku ingin buang air kecil.
Dua jam telah berlalu, film pun telah usai segera aku berpamitan pada William, Angela, Christ, dan Evelyn. Aku melangkah dengan  cepat. sekitar beberapa meter, langkahku terhenti. Aku teringat kalau kembalian uang tiket nontonku belum dikasih sama Evelyn. Biarpun uang itu hanya sebesar 15.000 tapi hanya uang itu yang aku punya untuk berjaga-jaga jika hal buruk menimpaku diperjalanan. Karena aku malu meminta uang itu, akhirnya aku bergabung kembali dengan mereka, berharap Evelyn ingat akan uang kembalianku.
Kandung kemihku yang serasa penuh, seperti kosong lagi saat aku berjalan dengan William dan teman-temannya menikmati perbincangan kita tentang kemudahan dan keunggulan sekolah dan juga kehidupan di Jerman. Banyak juga Universitas di Jerman yang bebas biaya lho. Sekitar 2 jam berkeliling ria, semakin aku mengenal William, semakin aku terkesan padanya. Tiba-tiba Angela mengajak kita makan sushi di salah satu kedai di Mall itu. Mendengar ajakannya, mataku melotot dan seakan darahku berhenti mengalir. Aku berusaha memberanikan diri meminta uang kembalian itu pada Evelyn, dengan perasaan malu dan wajah memerah aku menerima uang kembalian itu. Dan segera aku berpamit pulang.
Sedikit berlari aku menuju tempat parkir, sambil menahan perutku yang rasanya ingin meledak. Menoleh kesana kemari mencari sepeda motor lusuhku yang tak pernah ku cuci, , langsung aku tancap gas dengan semangat agar cepat sampai ke rumah. Kutarik gas sepeda motorku hingga kecepatan 80 km/jam, padahal aku tidak begitu hafal jalan menuju rumah, lagi-lagi feeling lah yang menuntunku.
Hampir pukul 11.00 malam aku tiba di rumah. Pintu rumah sudah terkunci, hatiku sudah berdegup kencang membayangkan kata-kata yang akan dilontarkan oleh ibuku. Perlahan aku mengetuk pintu rumah sambil menggeliat-geliat menahan perutku. Setelah pintu rumah terbuka, aku bergegas berlari ke kamar mandi, tak kuhiraukan segala perkataan ibuku. Semakin marah ibuku kepada ku, aku hanya bisa terdiam dan menunduk, kemudian aku berusaha menjelaskannya pada ibuku. Akhirnya ibuku memahamiku dan mema`afkan kesalahanku, dan aku berjanji tak akan mengulanginya lagi.
Dari kejadian itu, aku bisa mengambil hikmahnya. Ternyata pergi tanpa restu dari orang tua, segalanya tidak akan lancar. Walaupun sebenarnya aku pergi nonton bukan karena William, tapi karena Deniza. Dia ingin membuatku bahagia, dialah sahabat terbaikku. Tapi aku nggak mau mengulang kejadian itu lagi. Kemudian aku teringat dengan cerita William tentang pendidikan di Jerman, dan aku bercita-cita ingin menempuh pendidikan di Jerman entah bagaimana caranya aku akan berusaha mendapatkannya. Dan ternyata hari itu adalah pertemuan terakhirku dengan William. Dia tak lagi belajar menari denganku setelah dia pindah homestay yang kebetulan agak jauh dari rumahku, dan sepeda elektrikku tak mampu menempuh jarak sejauh itu. Dan kini, dia telah kembali ke negaranya, Jerman.