B
|
ioskop adalah tempat yang nggak asing lagi
bagi kalangan muda sepertiku. Dengan perasaan senang, bahagia, dan gembira mereka
mengunjungi tempat itu. Berkumpul dan nonton bareng teman, sahabat, bahkan
pacar menjadi moment yang indah di
malam minggu. Dan
sensasi saat pertama kali ke bioskop bersama bule tak seindah yang kubayangkan, tapi demi uang lima
belas ribuku itu, aku semakin akrab dengan si bule.
Pada suatu ketika, seseorang menawariku
untuk menjadi tutor tari remo. Aku pun nggak pikir panjang untuk terima tawaran
itu, dan aku juga nggak banyak tanya tentang tawaran itu. Dan ini adalah kali
pertamanya aku menjadi tutor tari remo padahal sebenarnya basic ku adalah tari bali, memang sih aku pernah belajar tari remo walaupun secara autodidak. Beribu khayalan buruk datang dalam pikiran ku, membayangkan segala
kejadian saat hari pertama latiahan tari itu di mulai.
Sepulang sekolah hari rabu sore itu, aku
bergegas mengeluarkan isi bagasi sepeda ku yang penuh alat praktek dan jas lab
ku. Dengan sepeda kuningku aku meluncur ke tempat kita janjian untuk latihan.
Dan ternyata aku telat 1,5 jam, maklum
sepeda elektrikku kan kecepatan maksimalnya 40 km/jam. Perasaan malu dan nervous karena aku datang terlambat seakaan lenyap seketika saat melihat empat
bule dihadapan ku, satu bule cewek dan tiga lainnya bule cowok. Seakan khayalan
indah ku bertemu bule terwujud dalam suatu malam yang cerah di hari itu. Tangan
ku terasa membeku saat pertama kali berjabat tangan dengan mereka.
Dalam perjalan pulangku, aku masih teringat
wajah indo mereka, antusias mereka belajar tari jawa timur itu, dan gerakan
unik mereka saat pertama kali mencoba gerakan dasar tari remo yang membuatku
tertawa geli. Dan aku tersenyum saat salah satu dari mereka yang
memanggilku dengan sebutan “Bu” karena dia menganggapku sebagai gurunya seperti
di sekolah. Sepanjang perjalanan malam itu aku tersenyum sendiri bak orang gila
sambil bersepeda santai merasakan sentuhan dinginnya angin malam yang
menghembus sepoi-sepoi dan memporak-porandakan rambutku.
Dari ke-empat bule itu, aku paling tertarik
dengan salah satu bule jerman yang akrab disapa William. Selain aku tertarik
dengan hidung mancung dan kulit putihnya, aku juga tertarik dengan semangatnya mempelajari
budaya Indonesia juga dia begitu cinta Indonesia. Dialah yang memanggilku dengan sebutan “Bu”.
Dari SMS-an, chatting di akun Facebook, aku
semakin akrab dengan William. Aku semakin mengenal bagaimana sifatnya,
bagaimana dia menghargai seseorang. Dia tak lagi memanggilku dengan sebutan bu.
Karena dia tahu, aku adalah teman buatnya. Dan pada suatu malam, dia mengirimkan pesan
ke handphone pink milikku,
dia megajakku nonton ke bioskop. Sejenak aku terpaku membaca pesannya itu.
Entah film apa yang nanti akan ku tonton, aku tak peduli. Aku belum menyetujui
ajakannya itu karena ada
sesuatu yang mengganjal di pikiranku. “berapa ya harga nonton itu?” aku
bergumam sesaat. Maklum seumur-umur aku belum pernah merasakan nonton ke
bioskop, padahal hidupku di kota yang serba modern ini. Dan mungkin ini akan
jadi pengalaman pertamaku. Dalam sesaat aku tersenyum riang, dan dalam sekejap
senyumku sirna ketika terpikirkan jumlah kocek yang harus ku keluarkan untuk
nonton, karena nggak mungkin
rasanya orang tuaku memberiku uang hanya sekedar untuk nonton, sedangkan uang
sakuku dikasihnya juga harian. Ditambah lagi dengan sulitnya meminta ijin kepada orang tuaku.
Kedua orang tuaku termasuk orang yang kolot yang membatasi segala pergaulan dan
selalu melarang ku untuk pergi bersama teman-temanku. “Ah, sudahlah lupakan
yang namanya nonton bioskop” kataku dalam batin.
Saat pagi tiba, aku berangkat ke sekolah
dengan semangat baruku. Aku ceritakan tentang ajakan William kepada sahabat
karibku, Deniza. Deniza pun mendukungku untuk menyetujui ajakan William itu.
Tetapi, setelah aku menyeletuk “Gimana minta ijinnya dan dapat dari mana aku bekal untuk nonton?”.
Deniza diam sesaat, ia paham benar dengan sifat orang tuaku. Kemudian kita
nggak membicarakan lagi masalah nonton
itu.
Keesokan harinya, Deniza menyodoriku uang
kertas biru dengan nominal 50.000. seketika aku menatapnya dengan wajah
bingung. “Buat
apa uang ini?” tanyaku dengan suara lirih. “Pakailah ini untuk bertemu dengan William” jawabnya dengan tersenyum.
Sempat aku menolaknya, tapi dia merayu ku untuk menerima uang itu. Memang 4 bulan lagi
William akan pulang ke negaranya, setelah satu tahun dia mengikuti pertukaran
pelajar di Indonesia, mungkin juga ini kesempatanku untuk malam-mingguan
dengannya.
Saat Sabtu siang, aku berniat membatalkan acara nonton ku bersama William
dan mengembalikan uang Deniza. Aku bingung saat itu. Aku membayangkan ekspresi
ibuku saat aku meminta ijin, saat ibuku mencercaku dengan banyak pertanyaan.
Tapi Deniza berhasil mengkacaukan khayalan burukku itu dengan memberikan
sugesti indah saat bertemu William. Deniza bergegas pulang, dan aku masih
mengerjakan tugas ku di perpustakaan sekolah. Pukul 5 sore, William mengirim
pesan untuk menanyakan kepastian ku. Bertepatan itu juga Deniza menelpon ku, ia
memintaku untuk segera berangkat, Karena ternyata ia sudah tiba mall tempat aku dan William janjian.
Aku bergegas pulang dan bersiap-siap. Saat akan meninggalkan rumah, aku hanya memberikan sedikit
penjelasan pada ibuku sambil terburu-buru dan pergi begitu saja. Tapi kali ini sepeda
elektrikku aku tinggalkan.
Inilah pengalaman pertamaku berangkat ke
Mall tanpa keluargaku dan dengan perasaan bimbang merasa bersalah kepada ibuku.
Entah pikiranku melayang kemana, pintu masuk Mall itu terlewat begitu saja
disampingku. Jalan disekitar Mall itu hanya satu arah pula, terpaksa aku
mencari jalan untuk putar balik, padahal aku belum paham benar jalan daerah Mall itu, tapi yang ada aku malah nyasar
entah kemana. Bermodal feeling aku mencari jalan menuju Mall itu. Sekitar setengah
jam aku berputar-putar, aku temukan kembali Mall itu, cepat-cepat aku parkirkan motorku. Deniza menunggu ku
disebrang Mall di tempat makan, tempat janjian kita. Deniza sudah memesankanku
seporsi makanan, dia tahu aku belum menyempatkan diri untuk menyantap sesendok
nasi, sekitar setengah jam
berlalu, aku dan
Deniza berjalan berdua menuju ke tempat kita nonton, tapi William tak kunjung
datang. Tak lama kemudian Deniza meminta ijin untuk pulang terlebih dahulu
karena dia akan pergi bersama ibunya.
Berulang kali aku memandangi jam hp ku,
mengamati perpindahannya. “Sambil menunggu, aku keliling mall aja” gumam ku.
Perasaan galau risau sedikit terlupakan melihat uniknya kedai-kedai makanan di
mall itu. Sesaat kemudian William mengirim SMS kalau dia akan tiba beberapa menit lagi, dan ternyata taxi
yang ditumpanginya nggak tahu jalan menuju Mall itu, dia sempat tersesat juga. Segera aku
menuju ke tempat janjian kita, di dekat kedai penjual donat. Ternyata dia juga
belum tampak batang hidungnya.
Segalanya terlupakan yang aku nikmati
hanyalah lantunan lagu dari band yang aku tak tahu namanya, yang sedang tampil
disebelahku. Tiba-tiba Hp ku bergetar, segera aku membuka pesan
masuk sambil berharap kalau pesan itu dari William. “aku sudah sampai nih, kamu dimana?” itu
bunyi SMS dari William.
Mataku bergerak kesana kemari berkeliling menjelajahi sudut Mall. Kemudian mataku terpanah dengan sesosok
wajah yang tak asing bagiku dengan postur tubuh tinggi tegap melibihi ukuran
tinggi laki-laki seumuranku. Dia berjalan santai menuju kedai penjual donat
itu. setelah dia mendekat beberapa meter barulah aku yakin kalau dia adalah
William, bergegas aku menghampirinya. William melempar senyum kepadaku, sedikit
nyengir aku berdiri di sebelahnya, melihat dia dengan menengadahkan kepala bak
berdiri di sebelah tiang tinggi.
Aku dan William berjalan menuju ke bioskop,
disepanjang perjalanan kita banyak berbincang-bincang sambil menikmati
keramahan waitress menawarkan menu
kedainya. William
banyak bercerita tentang tarian Indonesia. Tak pernah aku bayangkan bisa bertemu bule dan
banyak berbincang dengannya, sungguh betapa senangnya aku waktu itu. Tiba-tiba kita bertemu dengan teman sekolah
William, yaitu Angela, Christ dan Evelyn. Dan ternyata mereka juga berencana
akan nonton film, akhirnya mereka bergabung bersama aku dan William. Kemudian beramai-ramailah kita nonton film.
Gelap, takut, dingin kesan pertama saat aku
pertama kali memasuki gedung bioskop. Sebuah gedung dengan layar super besar,
suara dentumannya membuatku gemetar, suhu yang begitu rendah membuatku
menggigil, dan kursi nyamannya membuatku ingin tidur. Tetapi film yang kita
pilih tak begitu menarik, tak ada aksi, tak ada teka-teki, tak menyeramkan sama
sekali membuatku teringat ibuku. Aku semakin menyesali perbuatanku tadi.
Lagi-lagi aku mengintip jam hp ku, berharap cepat pulang bertemu ibuku lagi.
Dan upss.. aku ingin buang air kecil.
Dua jam telah berlalu, film pun telah usai
segera aku berpamitan pada William, Angela, Christ, dan Evelyn. Aku melangkah
dengan cepat. sekitar beberapa meter,
langkahku terhenti. Aku teringat kalau kembalian uang tiket nontonku belum
dikasih sama Evelyn. Biarpun uang itu hanya sebesar 15.000 tapi hanya uang itu
yang aku punya untuk berjaga-jaga jika hal buruk menimpaku diperjalanan. Karena
aku malu meminta uang itu, akhirnya aku bergabung kembali dengan mereka,
berharap Evelyn ingat akan uang kembalianku.
Kandung kemihku yang serasa penuh, seperti
kosong lagi saat aku berjalan dengan William dan teman-temannya menikmati
perbincangan kita tentang kemudahan dan keunggulan sekolah dan juga kehidupan di Jerman. Banyak juga Universitas di Jerman yang bebas
biaya lho. Sekitar 2 jam berkeliling
ria, semakin aku mengenal William, semakin aku terkesan padanya. Tiba-tiba Angela mengajak kita makan sushi
di salah satu kedai di Mall itu. Mendengar ajakannya, mataku melotot dan seakan darahku berhenti
mengalir. Aku berusaha memberanikan diri meminta uang kembalian itu pada
Evelyn, dengan perasaan malu dan wajah memerah aku menerima uang kembalian itu.
Dan segera aku berpamit
pulang.
Sedikit berlari aku menuju tempat parkir,
sambil menahan perutku yang rasanya ingin meledak. Menoleh kesana kemari
mencari sepeda motor lusuhku yang tak pernah ku cuci, , langsung aku tancap gas
dengan semangat agar cepat sampai ke rumah. Kutarik gas sepeda motorku hingga
kecepatan 80 km/jam, padahal aku tidak begitu hafal jalan menuju rumah, lagi-lagi feeling lah yang
menuntunku.
Hampir pukul 11.00 malam aku tiba di rumah.
Pintu rumah sudah terkunci, hatiku sudah berdegup kencang membayangkan
kata-kata yang akan dilontarkan oleh ibuku. Perlahan aku mengetuk pintu rumah
sambil menggeliat-geliat menahan perutku. Setelah pintu rumah terbuka, aku
bergegas berlari ke kamar mandi, tak kuhiraukan segala perkataan ibuku. Semakin
marah ibuku kepada ku, aku hanya bisa terdiam dan menunduk, kemudian aku
berusaha menjelaskannya pada ibuku. Akhirnya ibuku memahamiku dan mema`afkan
kesalahanku, dan aku berjanji tak akan mengulanginya lagi.
Dari kejadian itu, aku bisa mengambil
hikmahnya. Ternyata pergi tanpa restu dari orang tua, segalanya tidak akan
lancar. Walaupun sebenarnya aku pergi nonton bukan karena William, tapi karena
Deniza. Dia ingin membuatku bahagia, dialah sahabat terbaikku. Tapi aku nggak mau mengulang kejadian itu lagi. Kemudian aku
teringat dengan cerita William tentang pendidikan di Jerman, dan aku
bercita-cita ingin menempuh pendidikan di Jerman entah bagaimana caranya aku
akan berusaha mendapatkannya. Dan ternyata hari itu adalah pertemuan terakhirku dengan
William. Dia tak lagi belajar menari denganku setelah dia pindah homestay yang kebetulan agak jauh dari
rumahku, dan sepeda elektrikku tak mampu menempuh jarak sejauh itu. Dan kini,
dia telah kembali ke negaranya, Jerman.